MAJALAH ICT – Jakarta. Kasus dugaan korupsi penyalahgunaan frekuensi Indosat dan IM2 terus bergulir. Kali ini, yang dihadirkan sebagai saksi ahli adalah anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, mantan Menkominfo Sofyan A. Djalil, Dosen FH Universitas Trisakti Dian Andriawan dan ahli analisa keuangan yang juga mantan Kepala BPKP Jawa Barat Dani Sudarsono.
Terdapat kejadian unik yang juga cukup menegangkan saat pihak Jaksa Penuntut Umum menolak Nonot Harsono sebagai saksi ahli.
Menurut Jaksa, Nonot sering memberikan komentar di media dan juga sering hadir di persidangan, dan nyatanya pernyatannya dinilai Jaksa kebanyakan bohong dan tidak sesuai fakta yang sebenarnya. Namun, atas permintaan penasihat hukum dan izin dari majelis hakim, maka Nonot tetap melanjutkan menjadi saksi ahli.
Dalam kesaksiannya, Sofyan A. Djalil yang merupakan pejabat Menkominfo pada saat lelang 3G 2005 mengatakan terdapat persoalan besar di 3G, yaitu dari 60 MHz, sudah 55 MHz diberikan kepada sejumlah pihak, sedangkan operator yang memiliki pelanggan besar seperti Telkomsel, Indosat, dan XL belum mendapatkan frekuensi di pita 2,1 GHz.
"Maka saya menatanya melalui lelang seperti yang dilakukan di negara lain, yang mana yang bayar lebih besar dialah yang menang. Dan yang boleh ikut lelang adalah operator sebagai penyelenggara jaringan yang berjumlah 11 perusahaan, bukan penyelenggara jasa seperti IM2," ujarnya, Kamis (16/5).
Sofyan mengungkapkan dulu operator malah tidak membayar saat dialokasikan frekuensi, dan baru membayar bila sudah membangun base transceiver station (BTS). Sofyan menuturkan UU Telekomunikasi mengatakan operator wajib membuka jaringan kepada penyedia jasa untuk penyelenggaraan layanan multimedia.
"Operator wajib bekerja sama dengan pihak ketiga dan tidak boleh digunakan sendiri agar pihak ketiga bisa mendapat kesempatan berbisnis, sedangkan penggunaan frekuensi pun bisa lebih optimal," katanya.
Sofyan mengungkapkan lebar frekuensi 3G terbatas, yaitu hanya 60 MHz, sehingga tidak banyak perusahaan yang bisa memanfaatkannya.
Selain itu, tambahnya, tidak semua perusahaan bisa menjadi penyelenggara jaringan, karena sangat mahal. Berdasarkan data perusahaan masing-masing, capital expenditure (capex) Telkom mencapai US$2 miliar, Indosat US$900 juta.
Sofyan mengungkapkan dalam lelang, IM2 bukan operator jadi tidak berhak ikut lelang, jadi tak ada alasan bagi negara meminta pembayaran BHP dari IM2, dan juga ke ISP-ISP lainnya, karena sudah dibayarkan oleh operator.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan jaringan telekomunikasi dibangun dengan investasi tinggi memang harus dimanfaatkan sebanyak-banyaknya pihak agar bisa dioptimalkan sesuai dengan belanja modal yang sudah dikeluarkan.
"Bila jaringannya tidak dipakai maka tidak relevan lagi membicarakan soal frekuensi," ujarnya di sidang kasus IM2, Kamis (16/5).
Menurut Nonot, jaringan bisa dipakai oleh Internet Service Provider (ISP), perbankan untuk ATM, dan pengguna seluler yang jumlahnya sampai 240 juta orang.