MAJALAH ICT – Jakarta. Mendapat larangan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk menggunakan frekuensi berlisensi seperti 900 MHz maupun 1800 MHz, pakar telematika Onno W. Purbo menyebut bahwa regulator telekomunikasi Indonesia telah melanggar HAM bila melarang penerapan openBTS di Indonesia.
Menurut Onno, penggunaan frekuensi 900 MHz seharusnya tidak jadi masalah, karena tinggal diatur bagaimana caranya agar desa-desa itu mendapatkan izin alokasi di rentang frekuensi 900 MHz. "Kasihan orang desa yang tidak terjangkau BTS operator tidak bisa menikmati komunikasi. Regulator seharusnya memikirkan hal itu, dan pernyataan regulator yang tidak mengizinkan open BTS didengar di seluruh dunia lho, banyak tanggapan dari luar negeri yang masuk ke email saya," papar Onno.
Ditambahkan Onno, pernyataan Anggota BRTI M. Ridwan Effendi yang mengatakan bahwa di seluruh dunia pita 900 MHz tidak bisa dipakai untuk open BTS pun perlu dicek kebenarannya. "Kata seluruh dunia itu ngaco banget! Kalau bicara seharusnya dicek dulu kebenarannya," ujarnya.
Sementara itu, larangan menggunakan frkeuensi 900 MHz maupun 1800 MHz sebelumnya disampaikan Ridwan Effendi. Ridwan, yang sama-sama Onno menimba ilmu di kota pusat pengembangan BlackBerry di Waterloo Kanada, ini menegaskan bahwa frekuensi 900/1800 MHz merupakan frekuensi yang berizin alias bukan unlicensed band dimana penggunaannya harus seijin Menteri. "Sehingga tidak bisa digunakan untuk openBTS. Ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Perlu diperhatikan, penggunaan frekuensi secara sembarangan dapat menyebabkan interferensi yang dapat mengganggu kinerja jaringan telekomunikasi," tegas Ridwan.
Ditandaskannya pula, dalam UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, penyelenggaraan semodel openBTS hanya bisa dimungkinkan melalui penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang bekerjasama dengan penyelenggara jaringan (operator). "Setiap penyelenggaraan telekomunikasi juga wajib mempunyai izin penyelenggaraan. Kewajiban ini sesungguhnya adalah guna perlindungan masyarakat juga akan kepastian hukum dan kepastian standar kualitas layanan," kata Ridwan.
BRTI, ujar Ridwan, mengucapkan terima kasih atas masukan yang diberikan masyarakat mengenai openBTS ini. "Selanjutnya BRTI mengajak masyarakat untuk mengawal revisi RUU Telekomunikasi yang sekarang sedang dalam tahap harmonisasi antar lembaga, guna mendapatkan kepastian hukum yang pada akhirnya akan dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia pada umumnya," harap lelaki yang sudah menjadi Komisioner BRTI untuk dua periode ini.
Sebagaimana diketahui, seperti dijelaskan Onno di IGF, BTS yang dibuatnya disebut OpenBTS dengan perangkat mini yang dikombinasikan dengan sentral berupa software open source. "Dengan OpenBTS ini kita bisa menelepon dan SMS-an lokal secara gratis tanpa menggunakan jaringan operator. Bahkan OpenBTS ini bisa melakukan komunikasi lintar operator, tapi masih terhambat regulasi," jelas Onno.
Ditambahkannya, untuk membangun sebuah OpenBTS, hanya diperlukan perangkat komputer bersistem operasi Linux, kemudian Universal Sofware Radio Peripheral (USRP) untuk memancarkan sinyal radio, sepasang antena transmitter dan receiver, serta software GNU Radio, OpenBTS, dan juga Asterisk untuk mengkonfigurasi sentral telepon. "Biaya yang dibutuhkan kira-kira berkisar 12-15 juta rupiah. Kalau dengan amplifier sekitar Rp 150 jutaan," kata Onno yang menilai perangkatnya lebih murah dibanding BTS milik operator yang membutuhkan biaya antara Rp 1 hingga 3 miliar.
Soal jangkauan, BTS yang menggunakan frekuensi operator ini bisa menjangkau hingga radius 20 km sehingga socok untuk diterapkan di wilayah pelosok yang tidak terjangkau jaringan seluler. Dan uniknya, pengguna bisa menggunakannya tanpa SIM Card. Mirip dengan layanan instan messenger yang menggunakan WiFi dan bisa melakukan voice call.