MAJALAH ICT – Jakarta. Pemain telekomunikasi asing dituding melakukan transfer pricing yang berdampak terhadap pendapatan di tanah air. Oleh sebab itu, pemerintah diminta berhati-hati dalam melakukan perubahan terhadap PP No.52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP No.53/2000. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo.
Dijelaskannya, transfer pricing adalah bentuk praktik pengalihan biaya dari sebuah nilai barang atau jasa antara beberapa perusahaan dalam satu nama besar sehingga menggeser laba yang harusnya masuk kas dalam negeri ke perusahaan induk asing. “Dengan struktur kepemilikan operator yang dimiliki asing, rawan terjadi praktik transfer pricing atau pergeseran laba ke luar negeri dan Indonesia tidak menikmati keuntungan,” kata Yustinus di Jakarta.
Ditambahkannya, rencana untuk mengubah regulasi yang dilakukan pemerintha membuat ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan jika dijalankan. "Pertama, itu biaya interkoneksi kan simetris artinya harga satu. Jelas Harga Pokok produksi (HPP) operator itu beda, bagi yang HPP rendah tentu dapat marjin. Nah yang HPP tinggi siapa yang nanggung sunk cost? Kan harusnya dari biaya interkoneksi. Kedua, jika revisi kedua PP yang merupakan turunan dari UU telekomunikasi itu dijalankan, bisa memicu praktik monetisasi frekuensi di secondary market," kata Yustinus.
Ditegaskannya, jika revisi dilakukan, maka hanya beberapa operator seluler yang menanggung keuntungan dari adanya network sharing. Sebagian besar keuntungan tersebut nantinya justru bakal mengalir ke kantong perusahaan induk mereka di luar Indonesia, sehingga kontradiktif terhadap upaya tax amnesty. "Kalau dilihat yang untung banyak sebagian operator, tetapi paling rugi operator yang sudah banyak bangun dan negara karena potensi pajak hilang,” jelasnya.