MAJALAH ICT – Jakarta. Luar biasa! Bila menilik angka kerugian di sektor telekomunikasi yang mencapai Rp770,84 miliar dalam setahun.
Ironisnya, sejak mencuat sosilisasi yang dilakukan Kemkominfo sejak 2010 hingga saat ini, angka kerugian yang seharusnya turun tersebut, tidak menunjukan hasil yang cukup signifikan.
Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun tersebut diantaranya dalam bentuk pelanggaran layanan jasa Internet yang tidak memiliki izin penyelenggaraan, penggelaran jaringan fiber optic yang tidak memiliki akses langsung keluar negeri tanpa adanya penyelenggara jasa Interkoneksi.
Tak ayal, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sebagai wadah resmi dari penyelenggara jasa Internet (ISP) menuding, kinerja Kemkominfo kurang serius dalam menangani penertiban para ISP (sambungan langsung internasional) ilegal.
“Pasalnya, bukti terdapatnya kerja sama dengan ISP ilegal dihotel-hotel dan instansi pemerintah, tapi tak tersentuh Kemenkominfo,” ujar Sekjen APJII Sapto Anggoro.
APJII bahkan mendesak pemerintah untuk menegakkan hukum terhadap ISP ilegal dan bukan sekadar melakukan pemutihan.
“Pelanggan dan pelaku usaha ISP yang legal jelas dirugikan. Pelanggan rugi karena” sewaktu-waktu bisa ditinggal pergi ISP ilegal tersebut, sedangkan bagi ISP legal, keberadaan ISP ilegal tentunya memperburuk citra penyelenggara jasa Internet,” ujar Ketua Umum APJII Semmy Pangerapan.
Kelambanan Kominfo juga menyebabkan hilangnya potensi pemasukan Negara sebesar Rp206,19 miliar akibat pembobolan trafik sambungan langsung internasional (SLI).
Trafik internasional, seharusnya diselenggarakan melalui sentral gerbang penyelenggara sambungan langsung internasional. Namun, pembobol tidak menggunakan gerbang itu tapi memberi layanan yang sama. Pembelokan trafik internasional memang menyebabkan kerugian cukup besar, kerugian itu merupakan estimasi berdasarkan perhitungan industri.
Namun, pemerintah tak pernah berterus terang mengapa terjadi pembelokan trafik internasional tersebut, karena bila ditilik lebih jauh, masalah ini terjadi juga akibat pemerintah khususnya Kementerian Kominfo lamban dalam membuka ijin penyelenggara SLI baru.
Sebagaimana diketahui, Axis Telekom Indonesia dan Xl Axiata telah lama mengajukan permohonan untuk dapat menyelenggarakan SLI secara langsung. Permohonan ini jauh disampaikan sebelum pihak Bakrie Telecom mengajukan permohonan ijin seluler. Entah mengapa, permohonan seluler BTEL diproses lebih dulu daripada permohonan izin Axis dan XL.
Walaupun sudah memiliki 3 operator SLI, yaitu Indosat, Telkom dan Bakrie Telecom, tarif tidak kompetitif. BTEL yang diharapkan menjadi pesaing dua pemain lama gagal bertarung karena tidak membangun jaringan baru. Tarif yang tidak kompetitif membuat pemain di luar SLI legal leluasa bermain karena menawarkan tarif murah.
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 11-2013 di sini