MAJALAH ICT – Jakarta. Teknologi selalu berkembang pesat, jauh melewati regulasi yang berlaku di suatu negara, itu lah sepetik pelajaran yang didapat pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo pada kasus 2,3 GHz.
Hal itu ditegaskan Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Informatika Muhammad Budi Setyawan kepada Majalah ICT dalam perbincangan eksklusif di ruang kantornya, Kamis 21 Maret 2013.
Menurut dia, pada awalnya, WiMax begitu digembar gemborkan pada 2009, dan semua pihak, dari menterinya, operator, dan vendor bersemangat sehingga disepakati untuk melelang WiMax 16d.
Namun, ternyata ada masalah pada pengadaan CPE (customer premises equipment), sehingga sampai 2 tahun pun WiMax 16 d tak bisa digelar dan diimplementasikan.
"Saat itu vendor hanya memperbolehkan operator untuk belanja CPE minimal 50.000 unit, sedangkan operator maunya 10.000 unit dulu, jadi karena gak ada kesepakatan, ga jalan-jalan lah WiMax 16d,"katanya.
Akhirnya, tambahnya, pemerintah pun memutuskan untuk mengubah WiMax 16d meski saat itu ada pertimbangan terkena pidana karena merupakan post bidding.
"Kami akhirnya minta pertimbangan KPPU, dan kami juga menemukan bahwa dalam RPJM Presiden dicantumkan penerapan teknologi netral, sehingga Kemenkominfo pun mantap menerapkan teknologi netral di pita 2,3 GHz,"ujarnya.
Arahnya juga untuk LTE meski saat ini belum optimal digunakan operator meski pemerintah sudah menerapkan teknologi netral yaitu TD-LTE.
Di pita ini merupakan contoh bagaimana regulasi tertinggal dengan teknologi. Di saat 16d baru akan membangun, sudah muncul 16e, dan sekarang sudah ke 16m dan LTE.
"Kalau 16m ga mungkin karena komitmen dan kesepakatan awaknya bukan mobile, tapi memakai dongle,"jelasnya.
Di pita ini terdapat 60 MHz pita yang belum dilelang, ditambah dengan frekuensi yang dikembalikan Telkom, dan frekuensi operator yang diambil pemerintah karena tak mampu bayar (WTU).(ap)