Search
Jumat 14 Februari 2025
  • :
  • :

Pemerintah Masih Kaji Konsolidasi XL-AXIS, Telkomsel Keberatan

MAJALAH ICT – JAkarta.  Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini masih posisi mengkaji rencana proposal konsolidasi antara XL Axiata dan AXIS Telekom Indonesia. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S Dewa Broto mengatakan, telah dibentuk tiga Kelompok Kerja (Pokja) di Kemenkominfo untuk membahas konsolidasi XL-AXIS. "Ada yang membahas masalah frekuensi, isu monopoli, dan persaingan di pasar. Isu monopoli frekuensi akan menjadi titik kritis dibahas nantinya," kata dia.

Menurut Gatot, masalah monopoli tentu akan menjadi perhatian karena di 3G saja, misalnya, XL dan Axis kalau bergabung akan punya lima blok. Sementara Telkomsel cuma tiga, dan Indosat dua. "Apalagi XL dan Axis sama-sama milik asing. Rekomendasi dari Kemenkominfo sepertinya akan keluar pada Agustus nanti. Hasil rekomendasi itu akan dipakai ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha," katanya. 

Putusan pemerintah yang masih menunggu tim bekerja, nampaknya dipicu keberatan Telkomsel. Seperti dikatakan Direktur Utama Telekomsel, dalam aturan telekomunikasi, sumber daya alam terbatas, yakni frekuensi, tak bisa ditransfer kala dua entitas melakukan konsolidasi. "Tak ada yang melarang akuisisi karena aturan mengizinkan. Tetapi ada aturan teknis terkait frekuensi dan blok nomor yang tak bisa diperjualbelikan, kecuali ada izin menteri," kata Alex yang juga Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI). "Kondisi di Indonesia untuk frekuensi itu belum menunjukkan asas adil dan merata. Ini harus dibenahi dulu oleh regulator," tutur Alex di Jakarta, baru-baru ini," ingin Alex. 

Keberatan Telkomsel nampaknya sering menjadi ganjalan pemerintah mengeluarkan keputusan secara cepat. Seperti dalam kasus lelang frekuensi 3G blok ketiga tahun lalu, yang mengalami penundaan berbulan-bulan akibat putusan pailit terhadap Telkomsel.

Terkait konsolidasi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute melihat bahwa sekarang banyak pihak asal bicara mengenai alokasi frekuensi dan dihubungkan dengan jual beli frekuensi. Menurut Mantan Anggota BRTI ini, PP No. 53/2000 tentang  Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit tidak bisa separuh-separuh. "Selain Pasal 25 ayat (1), perlu dilihat juga ayat (2) nya dimana berbunyi harap juga dilihat Pasal lzin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri," katanya. Ditambahkan, "Posisi Menteri, dengan melihat kondisi terkini dari industri telekomunikasi, sebagai Pembina industri pemerintah seyogyanya menyelematkan kondisi industri yang tidak sehat dan memberikan insentif  bagi operator yang ingin konsolidasi, melakukan peleburan maupun akuisisi."

Dan yang menarik, menurut Heru, adalah seolah-seolah proses ini menjadi yang pertama di sektor ini sehingga, semua pihak, termasuk DPR, merasa perlu ikut campur.  "Ini bukan yang pertama dalam sejarah konsolidasi operator. "Indosat yang mengambil Satelindo, tidak ada pengembalian fekuensi termasuk kode akses internasional (SLI) 008, sehingga Indosat memiliki 001 dan 008. Kemudian ada juga Bakrie Telecom yang konsolidasi dengan Sampoerna Telecom Indonesia, kemudian saling silang antara Smartfren dan Smar Telecom. Dan yang mutakhir adalah masuknya 80% saham CT Corp ke TelkomVision yang menguasai 200 MHz frekuensi di 3,5 GHz untuk televisi berlangganan berbasis satelit. Tidak ada satupun penyelenggara mengembalikan atau ditarik frekuensinya," papar Heru.

Kepada Majalah ICT, Heru menandaskan melihat situasi industri saat ini yang perlu diselamatkan, sebaiknya konsolidasi jangan dihambat. "ATSI sendiri  menyatakan bahwa saat ini EBITDA operator bergerak antar +56% hingga -50%, artinya tidak semua dalam kondisi untung. Dan juga ATSI menyatakan yang ideal jumlah operator hanyalah empat hingga lima operator saja. Dan proses yang terjadi sekarang ini, arahnya adalah mengidealkan pemain secara alami, business-to-business," tandasnya.