MAJALAH ICT – Jakarta. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sedang mematangkan paket kebijakan tarif yang baru. Dikabarkan, paket kebijakan ini akan segera dikonsultasikan ke publik, untuk dapat diimplementasikan Januar 2014 mendatang.
Adapun paket kebijakan tarif yang dimaksud adalah perubahan atau revisi Peraturan Menteri No.8/2006 tentang Interkoneksi, serta perhitungan kembali biaya interkoneksi untuk digunakan di tahun depan. Revisi Peraturan Menteri mengenai Interkoneksi salah satu klausul yang disebutkan aka diubah adalah mengenai penyelenggara dominan. Menurut sumber di Kominfo, penyelenggara dominan yang saat ini dikategorikan mendapatka pendapata kotor 25% dari pasar bersnagkutan, akan ditambahkan beberapa aturan lainnya.
Sementara biaya interkoneksi, kembali dihitung ulang mengingat perhitungan terakhir dilakukan di 2010 dan diimplementasikan di 2011. Biasanya, biaya interkoneksi dihitung kembali tiap 2 tahun. Ini artinya penghitungan di 2012 tidak dilakukan dan baru tahun ini dilakukan. Selama ini biaya interkoneksi lebih banyak ditentukan oleh Telkomsel sebagai penyelenggara dominan untuk telepon seluler dan Telkom sebagai penyelenggara dominan telepon tetap, SLJJ dan SLI.
Mengikuti perubahan kebijakan tarif, pemerinta juga akan mengubah ketentuan mengenai pentarifan telepon seluler khususnya mengenai harga kartu perdana. Dari rencana revisi ini, akan diatur bahwa penjualan kartu perdana harus dijual dengan harga minimal Rp. 50 ribu disertai foto kopi identitias diri.
Rencana perubahan pentarifan kartu perdana pernah disampaikan Anggota BRTI Fetty Fajriati dalam forum Focus Group Discussion (FGD) di Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). "Sedang disiapkan penerbitan aturan penjualan kartu perdana dengan harga minimal Rp. 50 ribu yang disertai copy Id-card," terang Fetty.
Menurut mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat ini, ini merupakan bagian dari langkah teknis mengurangi penipuan. Langkah lain yang juga akan dilakukan BRTI adalah akan menggunakan data penduduk e-ktp sebagai acuan pendaftaran kartu perdana prabayar.
Sebagaiaman diketahui, dalam Draft Permen yang beredar, pengenaan biaya yang mahal ini bertujuan untuk membatasi harga paling rendah kartu perdana guna menekan churn rate dan penyalahgunaan jasa telekomunikasi. sebab ditengarai, banyaknya kartu yang beredar dan kemudian hangus dibuang karena kartu prepaid dijual dengan amat sangat murah, dimana rata-data saat ini sekitar Rp. 5 ribu, bahkan untuk beberapa sudah termasuk layanan data beberapa bulan.
Dalam draft disebutkan, BRTI dalam fungsi pengawasan dan pengendalian juga dapat menetapkan harga minimal yang lebih tinggi dari tersebut mempertimbangkan situasi yang berkembang. Dalam salah satu pasal juga disebutkan bahwa kartu perdana wajib dijual dengan harga minimal seratus ribu rupiah. Harga tersebut tidak termasuk nilai deposit prabayar.
Ketentuan lain yang juga diatur adalah larangan penyelenggara telekomunikasi untuk menjual lebih dari lima kartu perdana untuk satu calon pengguna. Kemudian juga ketentuan bahwa nomor yang tidak aktif selama dua bulan wajib segera di nonaktifkan dan di recycle. Nomor yang didaur-ulang tersebut yang akan dijual kembali ke konsumen lainnya wajib dicatatkan dan dipastikan tidak ada kewajiban yang beralih kepada pengguna berikutnya.