MAJALAH ICT – Jakarta. Menanggapi rencana pemerintah untuk dapat segera menggelar teknologi telekomunikasi generasi ke-4, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Kamilov Sagala menilai, di satu sisi pihaknya menyambut upaya pemerintah ini, mengingat persoalan adopsi LTE sudah menjadi pembicaraan sejak lama. Namun Kamilov mengingatkan, pemilihan teknologi dan frekuensi ini bisa dikaitkan dan dianalogikan dengan isu kuota impor sapi yang marak belakangan ini.
Apa pasal? Menurut Kamilov, jika peningkatan kuota impor sapi dari berita-berita di media nampak, ada pihak-pihak yang diuntungkan dan mendapat kuota impor lebih besar. "Begitu juga dengan rencana adopsi LTE. Misalnya saja, memilih 2,3 GHz untuk frekuensi LTE, harus jelas alasannya. Perlu dilihat berapa vendor yang bisa support dan sudah diimplementasikan di mana saja. Jika hanya ada satu atau dua vendor saja, ini bisa disamakan dengan isu kuota impor sapi," tandas Kamilov.
Menurut aktivis Indonesia LTE Forum ini, sebaiknya pemerintah memperhatikan ekosistem dan mengajak diskusi semua stakeholder. "Ini kita sedang berjuang untuk bangun ekosistem, tapi pemerintah sudah memutuskan saja, padahal ekosistem belum lengkap. Ajak diskusi semua pemangku kepentingan, didengar pendapat mereka. Kalau sepihak, kasus gagalnya WiMax bisa jadi akan terulang kembali," kata Kamilov.
Keterbukaan dan kebersamaan untuk diskusi menyambut adopsi LTE penting, agar tidak ada saling curiga-mencurigai. "Kalau begini, wajar semua curiga. Apalagi, operator WiMax sekarang ini menekan kuat karena didukung dari ‘atas’," ujar Kamilov yang tak mau menjelaskan siapa yang dimaksud dengan di ‘atas tersebut. "Tafsirkan saja sendiri," katanya.