Search
Kamis 12 September 2024
  • :
  • :

Penataan Frekuensi Makin Rumit

MAJALAH ICT – Jakarta. Frekuensi merupakan sumber daya yang terbatas. Dalam pengaturannya, setiap negara mesti mengikuti petunjuk dari international telecommunication union (ITU) agar tercipta interoperabilitas anara satu negara dengan negara lainnya.

Tidak terbayangkan bagaimana seandainya di Indonesia misalnya, menggunakan frekuensi 700 MHz untuk seluler, padahal di negara lain kebanyakan bekerja di 900 MHz, 1800 MHz, dan 1900 MHz. Bila itu terjadi, maka orang Indonesia tidak akan bisa menelpon ke luar negeri.

Handset nya pun mesti memproduksi sendiri karena tentunya tidak ada vendor yang mau memproduksi handset hanya khusus untuk Indonesia, karena skala ekonominya akan sangat kecil, kecuali handset tersebut dijual dengan harga mahal.

Seperti tak ada habisnya, regulator dan pemerintah seperti bongkar pasang penataan frekuensi setiap tahun. Hal ini terjadi karena pemerintah dan BRTI sama sekali tak memiliki roadmap atau pun cetak biru yang jelas terkait perkembangan teknologi dan industri telekomunikasi.

Untuk pita 2,1 GHz saja pemerintah sudah menatanya sampai empat kali dalam 2 tahun terakhir, dan pasti akan ditata kembali setelah lelang frekuensi bekas XL dan Axis.

Sebenarnya sangat disayangkan pemerintah terlalu membuang energi hanya untuk menata frekuensi, sedangkan pengawasan terhadap kualitas layanan ke pelanggan menjadi terabaikan.

Bongkar pasang frekuensi ini makin diperparah dengan manajemen frekuensi masa lalu yang amburadul dan hanya memberikan frekuensi secara gratis tanpa lelang dan tanpa perhitungan yang matang.

Penataan frekuensi diprediksi masih akan berlangsung tahun depan dan berpotensi mengganggu kualitas layanan ke pelanggan.

Di pita 2,3 GHz, pemerintah juga sangat berlarut- larut dalam melelang frekuensi sisanya, padahal sejak awal sudah direncanakan untuk WiMax Mobile. Kini, sisa frekuensi itu bakal dipakai untuk TD-LTE.

Di pita 800 MHz, empat operator CDMA berdesak-desakan yang membuat persaingannya dengan GSM menjadi tidak sehat. Adapun, di pita 900 MHz, dengan hanya menetralkan frekuensi milik Indosat, maka pemerintah membuktikan tak punya roadmap jelas, apalagi untuk pita 1.800 MHz yang juga masih harus ditata karena banyak yang tidak contigeous.

Pemerintah juga punya pekerjaan rumah sangat rumit di pita 2,5 GHz yang menurut International Telecommunication Union (ITU) untuk akses mobile broadband tapi malah dikuasai operator televise broadcasting selebar 150 MHz. Hal senada juga berlaku di pita 3,3 GHz dan 3,5 GHz yang sempat jadi perseteruan antara operator satelit dengan BWA.

Oleh karena itulah, akan lebih baik kalau pemerintah segera menyusun roadmap teknologi ke depan, agar penataan frekuensi hanya dilakukan sekali jadi, dan tidak buang-buang energi.

Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 20-2014 di sini