MAJALAH ICT – Jakarta. Salah satu pemicu perang terbuka antara Telkomsel dan Indosat adalah belum kelarnya pembahasan biaya interkoneksi. Telkomsel meminta penurunan dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dan perhitungan berbasis biaya. Sementara kubu Indosat menyakini biaya interkoneksi bisa turun lebih di atas 50% karena belanja jaringan makin murah.
Menanggapi hal tersebut, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi berharap penurunan biaya interkoneksi tidak terlalu besar. Hal itu agar tidak terjadi fenomena operator malas membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain.
“Cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya mereka menderita kerugian karena dibayar dibawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga,” kata mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ini.
Sementara itu, Anggota Dewan Tekonologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DetikNas) Garuda Sugardo menilai bahwa pemerintah harus tegas dalam penetapan penurunan biaya interkoneksi dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dari setiap operator.
“Sebagai veteran praktisi seluler, saya justru menghimbau agar Pemerintah menugaskan Operator memenuhi janjinya membangun jaringan sesuai lisensinya. Lisensi adalah kewajiban bukan hak,” kata mantan Direktur Telkomsel dan Wakil Dirut Telkom ini.
Ditambahkan Garuda, semua operator harus membangun jaringan secara nasional, baru setelah itu menuntut interkoneksi murah secara resiprokal. “Itu baru adil dan bijaksana. Jangan lupa bahwa makna interkoneksi adalah siapa berbuat apa dan mendapatkan apa. Telkomsel yang membangun jaringan di seluruh pelosok nusantara, pantas menikmati hasilnya secara sejahtera. Siapa yang membangun jaringan diirit-irit, pantaslah dapatnya sedikit,” pungkasnya.