Search
Sabtu 17 Mei 2025
  • :
  • :

Penyedia Konten Asing Keluhkan Penyadapan di Indonesia

MAJALAH ICT – Jakarta. Isu penyadapan yang terjadi di Amerika Serikat dengan menggunakan penyelenggara layanan teknologi informasi, bukan tak berarti tidak terjadi di Indonesia. Menurut penyedia konten asing yang mendunia di Indonesia, penyadapan juga terjadi di Indonesia. 

Menurut cerita penyedia layanan platform konten asing kepada Majalah ICT, pihaknya sering kewalahan karena suka tiba-tiba pihak aparat penegak hukum meminta data mengenai siapa mengunggah video tertentu, jam berapa dari mana dan sebagainya. "Dan itu dilakukan tanpa perintah pengadilan maupun surat resmi dari pimpinan lembaga penegak hukum tersebut," sesalnya dalam Bahasa Inggris.

Untuk Indonesia, saat ini, untuk layanan telepon, begitu banyak lembaga atau aparat penegak hukum yang memiliki kewenanga penyadapan. Walapaun, UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi membatasi yang boleh dilakukan adalah perekaman, namun KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Badan Narkotika Nasional, dan terakhir Badan Intelijen Negara, punya kewenangan menyadap. Itu untuk penyadapan telepon atau SMS, termasuk mendapat data perekaman BlackBerry Messenger.

Untuk internet, UU ITE No. 11/2008 menyatakan penyadapan dapat juga dilakukan. Bahkan sebelum UU ini keluar, terbit Peraturan Menteri yang berisi kewajiban penyelenggara layanan jasa internet (ISP) untuk  menyampaikan trafik internet hingga ke warnet-warnet untuk ditelisik jika ada peristiwa kejahatan terkait dengan penggunaan internet. Bahkan IDSIRTII pun memasang alat-alat pengintai di penyelenggara NAP maupun ISP untuk memonitor trafik internet. 
 
Dalam kondisi ideal, memang hal itu bisa untuk mengatisipasi jika terjadi kejahatan terkait dengan cybercrime, namun soal privasi juga menjadi bahan yang terus dipertanyakan. Karenanya, memang setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penyadapan haruslah dibuat suatu undang-undang tersebut.
 
Menurut Mahkamah Konsitusi saat UU Informasi dan Transaksi Elektronik digugat tiga orang warga negara yakni Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi Djafar, UU ITE yang mengamanatkan penyadapan diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak dapat dibenarkan. Intersepsi atau penyadapan haruslah diatur dalam Undang-Undang. Sehingga, penyadapan saat ini sebelum ada UU mengenai hal itu tentunya ilegal. 

Dalam permohonan yang diajukan, yang diuji adalah Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pemohon berdalil, tindakan penyadapan merupakan bentuk pembatasan terhadap hak privasi seseorang yang merupakan bagian dari HAM yang seharusnya diatur dengan undang-undang, bukan lewat PP. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan hingga saat ini belum ada pengaturan yang komprehensif mengenai penyadapan.

Sejauh ini, pengaturan penyadapan masih tersebar di beberapa undang-undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda-beda. Seperti diatur dalam UU ITE, UU No 40 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. "Menyatakan Pasal 31 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” kata Ketua Majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan hasil putusan Judicial Review di Gedung MK dua tahun lalu.

Pendapat Mahfud diperkuat Hakim Konstitusi M. AKil Mochtar. "Aturan yang ada masih belum memberikan tata cara penyadapan yang jelas, seperti bagaimana prosedur pemberian izin, batas kewenangan, dan orang yang berwenang menyadap. Ini memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya yang berpotensi melanggar hak konstitusional karena pengaturan penyadapan masih tergantung kebijakan instansi,” tegas Akil.

Dalam judicial review tersebut, MK berpendapat penyadapan merupakan bentuk pelanggaran right of privacy sebagai bagian dari HAM yang dapat dibatasi. Hal ini jelas melanggar UUD 1945. Namun, pembatasan atas hak privasi ini hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.