MAJALAH ICT – Jakarta. Transformasi digital tidak hanya melulu soal ekonomi, tetapi juga menyangkut hal lain termasuk yang tak kalah penting menyoal kepentingan publik di dalamnya. Hal ini dikemukakan Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso, dalam Diskusi Publik bertajuk “Platform Digital dan Penyiaran: Peluang atau Ancaman?” yang diselenggarakan KPI Pusat bekerjasama dengan Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Kantor Sekretariat Dewan Pengurus Pusat (DPP) GMNI, di Jakarta Pusat.
“Kita mendukung perkembangan penyiaran digital, tetapi harus tetap berpihak pada kepentingan publik serta menjaga nilai-nilai Pancasila,” kata Tulus di depan ratusan peserta yang hadir.
Sekretaris Jenderal DPP PA GMNI, Abdy Yuhana menambahkan, peran penyiaran sangat vital dalam membangun kesadaran masyarakat di tengah berbagai persoalan bangsa, mulai dari gizi buruk hingga obesitas. Ia menekankan pentingnya kolaborasi.
“Tidak ada superman, yang ada adalah superteam. Tantangan digital hanya bisa dihadapi dengan kerja bersama,” ujarnya.
Dalam sambutan selanjutnya, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menyoroti kehadiran internet mengubah cara masyarakat mendapatkan informasi, membawa dampak besar bagi dunia penyiaran, namun pengawasan terhadap platform digital belum memadai.
Mengawali diskusi, Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran, Aliyah, menyatakan penyiaran digital membawa dua dampak. Di satu sisi menjadi peluang memperluas jangkauan, tetapi di sisi lain menjadi ancaman karena belum ada regulasi pengawasan yang jelas.
Dicontohkannya, seperti persoalan lambatnya proses take-down konten bermasalah di platform global dibanding mekanisme pengawasan KPI pada televisi dan radio.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Yulius Setiarto, mengungkapkan pembahasan RUU Penyiaran masih berlangsung dan terbuka terhadap masukan publik. Ia menilai regulasi perlu diperbarui agar tidak tertinggal dari perkembangan teknologi. “Media adalah instrumen strategis. Kita butuh regulasi yang tidak hanya memenangkan satu pihak, tetapi mampu mengkolaborasikan semua pihak,” tegasnya.
Yulius juga menyinggung perdebatan apakah platform digital harus diatur dalam RUU Penyiaran atau melalui undang-undang tersendiri. Menurutnya, hal ini memerlukan political will yang kuat serta pembelajaran dari praktik negara lain.
Dari perspektif GMNI, Ketua Bidang Komunikasi dan Media Sosial, Jan Prince Permata, menekankan pentingnya literasi digital di kalangan generasi muda, yang bisa menjadi penggerak. Dengan 80% dari populasi masyarakat sudah terkoneksi internet, ia menilai pemuda harus tampil sebagai produsen konten, bukan sekadar konsumen.
“Pemuda harus mempertajam kemampuan kritisnya sehingga tidak mudah terjebak dalam arus negatif, maupun konten destruktif,” imbuh Jan.
Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Gilang Iskandar, menyoroti tantangan berat industri televisi akibat pergeseran penonton ke platform digital. Ia menekankan empat strategi penting: kolaborasi, monetisasi multi-platform, penguatan konten lokal, serta kesetaraan regulasi antara media nasional dan platform global. Gilang juga menyoroti ketidaksetaraan aturan akan melemahkan daya saing industri dalam negeri.
Pada kesempatan yang sama, beberapa peserta diskusi menyampaikan pandangan mereka. Hardly Stefano, Komisioner KPI Pusat selama 2 periode yang turut hadir menekankan pentingnya equal public protection.
“Dalam pengaturan media, perdebatan biasanya selalu muncul karena teknologi, akses, dan platform yang berbeda. Tetapi sesungguhnya, dilihat dari sisi konten, semuanya sama-sama menghadirkan visual dan audio, bisa diakses publik, bahkan seringkali gratis,” katanya.
Hardly menitikberatkan pada bagaimana menjamin perlindungan terhadap publik melalui pengelolaan konten dari media apapun. “KPI juga sebaiknya berpikiran terbuka, bisa mendekatkan diri dengan publik dan juga ekosistem digital,” imbuhnya.
Peserta lain menyampaikan kekhawatiran bahwa pengawasan digital bisa membatasi kebebasan berekspresi, meski hoaks dan ujaran kebencian menjadi tantangan tersendiri. Maka dari itu, literasi digital perlu diperkuat agar masyarakat memahami tujuan regulasi. Salah satu peserta mengusulkan perlunya membentuk organisasi profesi content creator untuk menciptakan kode etik, tata tertib, dan ruang pengaturan yang lebih sehat.
Diskusi publik ini ditutup dengan ajakan untuk memperkuat ekosistem penyiaran dan digital yang sehat, berpihak pada kepentingan masyarakat, serta adaptif terhadap perkembangan teknologi.


















