Search
Sabtu 25 Januari 2025
  • :
  • :

Peserta Seleksi Calon Anggota BRTI Protes, Proses Seleksi Dinilai Tidak Transparan

MAJALAH ICT – Jakarta. Panitia penerimaan calon anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KRT BRTI) periode tahun 2015–2018, dinilai tidak transparan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Hingga berita ini diterbitkan, pengumuman anggota BRTI terpilih tak kunjung diinformasikan kepada publik. Di sisi lain, tanpa informasi transparan di website Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), panitia secara diam-diam telah memanggil 8 peserta dari total 34 peserta yang mengikuti tes wawancara pada tanggal 22-25 April 2015 lalu. Demikian Siaran Pers yang Raja Napitupulu kepada Majalah ICT.

Hal ini terungkap dari pendapat beberapa peserta calon anggota BRTI periode 2015-2018, yang disarikan dalam bentuk siaran pers, di Jakarta, Selasa (12 Mei 2015). "Panitia BRTI tidak transparan dan tidak profesional,” ujar Mahayoni, peserta tes wawancara BRTI pada hari Rabu (22 April 2015) sebagaimana disampaikan dalam keterangan tertulis yang dikirimkan Raja Napitupulu.

Ia menilai, bahwa seleksi KRT BRTI, mesti menjunjung prinsip profesional, transparan dan kredibel. Pasalnya, lembaga BRTI memiliki peran yang sangat besar dalam mengatur, mengawasi, dan mengendalikan penyelenggaraan sektor telekomunikasi di Indonesia.

Meski demikian, kata dia, perlu dicatat dengan tegas bahwa bukan hanya calon anggota yang akan dipilih saja yang harus profesional, transparan dan kredibel, tetapi panitia seleksinya juga harus demikian. Itu artinya, lanjut dia, ketegasan jadwal, agenda, kriteria kelolosannya dan perlakuan yang diterapkan kepada peserta, seharusnya juga diterapkan kepada panitianya. 

“Sehingga panitia seleksi juga bisa diakui kredibilitasnya, sehingga panitia dalam seluruh tahapan seleksinya tidak perlu ragu menyampaikan hasilnya, secara transparan kepada publik. Intinya, bagi saya bukan masalah diterima atau tidak, tetapi sikap profesional, transparan, kredibel, harus ditunjukkan dari tahap awal sampai akhir. Panitia juga tidak boleh berlindung pada kalimat bahwa keputusan panitia tidak dapat diganggu gugat,” lanjutnya.

Sinta Dewi Rosadi yang juga telah mengikuti tes wawancara pada Rabu (22 April 2015), menyayangkan sikap tidak transparan dan tidak profesional panitia penerimaan calon anggota BRTI tersebut.

“Saya juga bertanya tanya mengapa tidak ada info lagi dari panitia BRTI. Intinya, kita ingin kejelasan agar kita bisa move on,” kata dia.

Sementara itu, Winahyo Soekanto, peserta yang mengikuti tes wawancara pada Rabu (22 April 2015) mengakui, bahwa pada awalnya proses seleksi BRTI menjanjikan transparansi. Selain bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), PPM, dan resources kominfo sendiri, panitia juga melibatkan media massa untuk menginformasikan tahapan-tahapan yang dilakukan. 

“Proses seleksi terukur, komprehensif dan fokus. Menarik dan menantang. Peserta seleksi mengerahkan seluruh potensi resources-nya. Bahkan ada peserta yang kecapekan dan kelelahan secara fisik,” terang Winahyo.

Bahkan, lanjut dia, seleksi juga diakhiri tes wawancara dengan panel ahli yang juga cukup menantang dan berkelas. Namun, hingga kini sesudah kurang lebih 2 minggu, belum juga ada pemberitahuan resmi panitia BRTI dan Kominfo yang menyebutkan peserta terpilih dan tidak terpilih.

“Mengapa sejak tahapan awal panitia BRTI selalu menginformasikannya kepada publik melalui website. Namun hingga kini, semuanya belum segera dapat kepastian. Apa saja dasar kriteria penilaian panitia terhadap peserta terpilih? Lalu seperti apa proses serta scoring system-nya?” ungkap Winahyo.

Lebih jauh, Raja Napitupulu, peserta tes wawancara pada Jumat (24 April 2015) menilai, panitia BRTI sangat lamban merespon kecanggihan teknologi khususnya dalam memberikan informasi komprehensif dan menjunjung tinggi fairness kepada publik. Pasalnya, sebagai lembaga yang fokus pada sektor telekomunikasi, Kominfo dan panitia BRTI justru menampilkan dagelan yang sangat tidak professional.

“Bagaimana kita bisa maju kalau lembaga yang akan membawahi regulator pembuat kebijakan sektor telekomunikasi, justru sangat lamban merespon pemberian informasi kepada publik,” kata Raja yang juga Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia.

Bahkan, tambahnya, peran BRTI ke depan juga dinilai sulit bekerja secara efektif dengan sikap lamban tersebut. Apalagi, Kominfo sebagai lembaga negara yang khusus menangani masalah komunikasi dan informasi di Indonesia, justru melakukan “pembiaran” terhadap website-nya. 

“Dalam era digital saat ini, sangatlah mudah untuk memberikan dan melakukan up date informasi kepada publik melalui website. Apalagi sejak awal proses seleksi, panitia BRTI telah mengumumkannya secara transparan kepada masyarakat. Kecuali kalau memang dalam proses akhir ini, ada “deal-deal” politik yang dilakukan panitia,” tandas dia.

Lebih jauh, ucap Raja, pihaknya telah menginformasikan sikap tidak transparan dari panitia BRTI tersebut kepada Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, melalui pesan singkat BlackBerry Messenger (BBM). Tujuannya untuk melakukan perbaikan dan peningkatan pelayanan publik terkait tahapan seleksi BRTI. Namun hingga berita ini diterbitkan, Rudiantara tidak memberikan komentar apapun.