MAJALAH ICT – Jakarta. Dunia tengah menyoroti bahwa pemanfaatan teknologi keuangan (financial technology / fintech), yang optimal, dapat menjadi pendorong kuat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals / SDGs). Terdapat banyak diskusi tentang manfaat teknologi yang dapat membantu pasar untuk ‘melompati’ sistem keuangan yang sebelumnya telah ada, lewat model bisnis yang memanfaatkan teknologi terkini.
Namun demikian, di samping kesuksesan layanan keuangan digital dan inovasi yang dihasilkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar teknologi keuangan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dibutuhkan kolaborasi dan sinergi yang lebih baik antara pemerintah, sektor swasta, serta pelaku keuangan lainnya, dalam memanfaatkan teknologi keuangan sebagai solusi tantangan pembangunan, jika dunia ingin mencapai SDGs pada tahun 2030 kelak.
Pada agenda tahunan Sidang Majelis Umum PBB ke-74 di New York, Amerika Serikat bulan September 2019 yang lalu, Satuan Tugas Sekretaris Jenderal PBB bidang Keuangan Digital untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Digital Financing of the Sustainable Development Goals) menyelenggarakan forum diskusi bertema “Good Servant, Poor Master – Capturing the Promise and Managing the Risk of Financial Technology for a Sustainable World”. Pertemuan tingkat tinggi ini dihadiri oleh para pemimpin dunia di bidang kebijakan, teknologi, dan bisnis untuk mendiskusikan solusi teknologi keuangan yang terbaik untuk mengatasi kendala jangka panjang terkait pembiayaan untuk pembangunan, serta untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals / SDGs).
Pertemuan tersebut menyoroti perhatian dunia saat ini terkait potensi dan tantangan, serta manfaat dan dampak dari digitalisasi keuangan, terutama dalam kontribusinya terhadap pendanaan untuk mewujudkan inklusi keuangan dan tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Digitalisasi keuangan dapat mempercepat transisi menuju inklusi keuangan, bahaya-bahaya apa saja yang perlu dihindari untuk memastikan bahwa inklusi keuangan dapat dicapai dengan cara yang sehat baik bagi sektor keuangan dan masyarakat. Apa yang sudah dialami dalam skala global dan apa yang sudah dialami oleh masyarakat di Indonesia. Digitalisasi keuangan dapat memberikan manfaat berupa; peluang bagi mata pencaharian baru, membuka akses yang lebih baik kepada layanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas dan tata kelola yang baik. Digitalisasi keuangan dapat membantu menyalurkan sumber daya keuangan yang dimiliki oleh masyarakat, dalam bentuk simpanan dan aset keuangan, untuk pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
Hingga kini perkembangan bisnis fintech terus mengalami kemajuan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Sejak dua tahun terakhir, penyaluran pembiayaan oleh fintech pembiayaan mengalami peningkatan. Per Januari 2019, jumlah akumulasi penyaluran pinjaman mencapai Rp 25,59 triliun dari total 99 fintech pembiayaan yang terdaftar di OJK.
Digitalisasi dapat mempercepat realisasi SDGs. Digitalisasi itu sendiri membantu masyarakat yang unbanked atau underbanked dibandingkan mereka yang sudah memiliki akses ke bank beserta produk-produknya. Inovasi-inovasi seperti AI, Blockchain, IoT selama ini hanya menyasar pada nasabah-nasabah bank yang makmur.
Inovasi dan tata kelola yang baik diperlukan untuk memastikan bahwa digitalisasi mendukung penyelarasan pendanaan dengan pembangunan berkelanjutan. Dibutuhkan inovasi tata kelola keuangan yang didukung oleh mandat yang kuat, kapabilitas dan ketersediaan instrumen bank sentral, regulator keuangan dan pembuat kebijakan, serta peningkatan kolaborasi antar pembuat kebijakan secara lebih luas. Inovasi perlu difokuskan pada bagaimana digitalisasi keuangan direalisasikan dalam bentuk tata kelola baru, yang dapat diterapkan dalam standar teknis, protokol dan algoritma, serta dapat digunakan melalui model bisnis baru. Sangat penting untuk memastikan pendekatan inklusif terhadap evolusi kebijakan terkait digitalisasi keuangan, agar dapat memaksimalkan potensi manfaat tata kelola dan inovasi pasar, sambil menghindari kemungkinan dampak negatif dari pengaturan kelembagaan yang eksklusif dan institusional.
Perkembangan Fintech di Indonesia
Di satu sisi, Indonesia semakin memperkuat reputasinya sebagai salah satu pusat kekuatan ekonomi dunia. Google2 dan Temasek memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tengara, dengan proyeksi peningkatan nilai pasar yang eksponensial, dari 27 miliar dollar pada tahun 2018 menjadi 100 miliar dollar pada 2025.
Fintech saat ini merupakan salah satu dari dua sektor yang paling banyak mendapat pendanaan (selain e- commerce), dan merupakan sektor yang berkembang paling cepat dalam beberapa tahun terakhir. Fintech menawarkan berbagai jenis jasa keuangan, antara lain peer-to-peer (p2p) lending (pinjaman online), crowdfunding, payment gateway, manajemen investasi dan asuransi. Layanan P2P lending dan sistem pembayaran merupakan layanan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat.
Menurut data OJK per bulan Januari 2019, jumlah penyaluran pinjaman fintech mencapai Rp 25,92 triliun, atau naik sebesar 14,36% dari awal tahun 2018 yang tercatat senilai Rp 22,67 triliun. Angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan kesenjangan pendanaan di Indonesia yang sebesar Rp 989 triliun per tahunnya (data OJK tahun 2016). Ini berarti terdapat kesenjangan kebutuhan pendanaan sebesar Rp 1.649 triliun.
Industri fintech di Indonesia dengan demikian jelas mempunyai potensi besar untuk berkembang. Mengingat tingginya kebutuhan pendanaan pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat, harapan akan akses terhadap layanan keuangan oleh beragam segmen masyarakat yang belum sepenuhnya dapat dijawab oleh sektor perbankan konvensional, serta tuntutan atas fleksibilitas layanan yang dapat menembus ruang dan waktu mengingat kendala geografis nusantara.
Fakta tersebut menjadikan layanan fintech menjadi sangat relevan dengan konteks Indonesia dan narasi Pemerintah tentang inklusi keuangan, serta pencapaian butir-butir SDGs terutama butir ke-1 (No Poverty), butir ke-8 (Decent Work and Economic Growth), butir ke-9 (Industry, Innovation and Infrastructure), butir ke-10 (Reducing Inequality), dan butir ke-17 (Partnerships for the Goals).