Majalah ICT – Jakarta. Dalam dua pekan terakhir, jagad telekomunikasi diraamaikaan oleh adanya wacana dari Kementerian Keuangaan untuk menerapkan cukai pada pulsa.
Tak pelak, tanggapan sinis dan bernada tidak setuju diteriakkan oleh kalangan industri. Mengatasnamakan pelanggan, mereka pun kompak menolaknya.
Wacana mengenai pengenaan cukai pada pulsa pertama kali dilontarkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro. Menurutnya, pengenaan cukai pada pulsa telepon seluler dimaksudkan untuk membatasi penggunaannya karena berdampak negatif pada kesehatan.
Selama ini kita mengenal cukai dikenakan pada rokok atau produk minuman keras yang jelas-jelas membahayakan kesehatan. Bila pulsa kemudian disamakan dengan kedua produk di atas, maka hal itu bukan pada tempatnya.
Pulsa sama sekali berbeda dengan rokok. Pulsa banyak manfaatnya, yaitu untuk berkomunikasi. Jangan ditanya apa manfaat komunikasi. Boleh dibilang, tidak akan ada suatu bangsa tanpa komunikasi.
Komunikasi selain bisa meningkatkan perekonomian daerah setempat, rumah tangga, dan negara,juga dimanfaatkan sehari-hari untuk komunikasi pekerjaan, kesehatan, dan lainnya.
Secara ekstrem, bila ingin tahu perbedaan antara rokok dan pulsa, coba sesekali digelar hari tanpa pulsa nasional dan hari tanpa rokok nasional. Hari
yang manakah yang memberi dampak signifikan bagi kehidupan bernegara?
Tarif Telekomunikasi Bakal Naik
Operator telekomunikasi sudah dari jauh hari berancang-ancang membebankan cukai pulsa tersebut ke pelanggan. Otomatis artinya, tarif telepon dan SMS pun bisa menjadi naik. Operator yang dalam tiga tahun terakhir terpuruk menjadi semakin galau karena ancaman ditinggal pelanggan, terutama operator baru atau kecil.
Operator kecil tentunya bakal sulit bersaing dengan operator yang lebih mapan infrastrukturnya bila tidak bisa bersaing dalam hal tarif murah.
Pada akhirnya, operator kecil dan medioker bakal kesulitan dan bisa jadi akan merugi dan tutup atau merger atau diakuisisi.
Masyarakat pun, karena tarif naik, akan mengurangi pemakaian pulsa signifikan dan ke arah layanan data Internet sehingga boleh jadi email dan chatting akan jadi booming. Namun, minimnya penetrasi Internet menyebabkan masyarakat perdesaaan tetap harusmembeli pulsa sehingga karena malas membeli pulsa, perekonomian secara makroakan menurun.
Dalam pandangan Indonesia ICT Institute, wacana pulsa kena cukai layak ditolak. Ada beberapa alasan penolakan. Terutama adalah jaminan UUD 1945 untuk berkomunikasi melalui media apapun.
Selain itu, pada 2011, pemerintah telah menyedot uang masyarakat pengguna telekomunikasi sebesar Rp. 12 trilyun-an. Dengan penambahan cukai, artinya masyarakat kembali dibebani ‘setoran’ jasa telekomunikasi kepada negara. Padahal, saat membeli pulsa, konsumen sudah dibebani PPN 10%, baik untuk kartu prepaid maupun postpaid.
Asosiasi Teekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) pun mengungkapkan sektor telekomunikasi sebagai sektor yang mandiri, harusnya diberikan insentif, bukan diberikan hambatan. Apalagi, ke depan banyak target pembangun broadband khususnya yang harus dicapai.
Wacana pengenaan cukai pada pulsa diyakini hanya lah pintu awal bagi pengenaan cukai pada bandwidth. Bila itu terjadi, maka kiamat kecil pun terjadi. (majalahICT/ap)