MAJALAH ICT – Jakarta. Deloitte Consulting bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Indonesia merilis hasil Survei Fintech Indonesia 2016. Dari hasil survei terungkap bahwa 61 persen startup fintech Indonesia menganggap regulasi Indonesia masih belum jelas dan lambat beradaptasi terhadap perkembangan fintech. Survei Fintech Indonesia 2016 ini dilakukan pada Juni-Agustus 2016 yang melibatkan 70 perusahaan fintech Indonesia.
Penasihat untuk industri jasa keuangan Deloitte Consulting Erik Koenen mengemukakan, dari hasil Survei Fintech Indonesia 2016 ada empat poin penting yang bisa diambil. Keempat poin tersebut berkaitan dengan regulasi, kolaborasi, talenta, dan financial literacy dan financial inclusion.
Dari sisi regulasi ditemukan bahwa 61 persen responden menganggap adaptasi regulasi di Indonesia terhadap perkembangan fintech tergolong lambat dan berada di area abu-abu. Setidaknya, ada lima area dalam fintech yang dirasa responden memiliki kebutuhan paling tinggi untuk kejelasan regulasi. Lima area tersebut adalah Payment Gateway (60%), e-money/e-wallet (58%), mekanisme Know Your Client atau KYC (57%), P2P lending (57%) dan digital signature (54%).
Sementara dari sisi kolaborasi ditemukan bahwa 100% responden setuju kolaborasi merupakan poin penting dalam pengembangan bisnis fintech, baik itu dengan pemerintah dan institusi finansial atau dengan pelaku fintech lainnya. Ada 38% responden yang percaya bahwa peningkatan penerapan best practice adalah manfaat terbesar kolaborasi dan 25% lainnya percaya kolaborasi bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan data pasar.
Masalah kekurangan talenta juga tidak lepas dari sektor fintech, terutama kepada keahllian spesifik di bidang fintech itu sendiri. Erik menyampaikan ada banyak engineer dan developer di Indonesia, seharusnya tidak ada kekurangan bakat dari sudut pandang ini. Namun, menurutnya saat ini tidak ada banyak engineer atau sales person di Indonesia yang memahami teknologi di balik jasa keuangan.
Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa untuk perusahaan fintech yang berusia 0-2 tahun talenta di bidang data and analytics adalah permintaan tertinggi (83%). Perusahaan berusia 3 tahun butuh talenta di bidang back end programming (67%). Sedangkan perusahaan dengan usia 4 tahun ke atas kebutuhan talenta yang memahami risk management adalah yang paling dicari (90%).
Survei juga menemukenali bahwa perusahaan fintech Indonesia hingga saat ini kesulitan untuk memajukan inklusi keuangan karena rendahnya tingkat pendidikan keuangan. 36 persen reponden percaya bahwa collaborative training and communications effortsadalah cara terbaik untuk meningkatkan financial literacy dari konsumen yang dibidik.
Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia Karaniya Dharmasaputra bahkan menyebutkan masalah tersebut tidak hanya terjadi di antara anggota masyarakat umum tetapi juga di antara pemain di industri keuangan konvensional. “Saat ini kita sedan berada di tengah era inovasi keuangan, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi. Melalui survei ini, kami ingin menyoroti bagaimana kolaborasi di antara pemain fintech dan regulator dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan-layanan keuangan, khususnya yang memanfaatkan teknologi,” katanya.