MAJALAH ICT – Jakarta. Reformasi penyiaran memang idealnya dilakukan dengan merevisi UU No.32/2002 tentang Penyiaran. Namun sayanganya, proses penyusunan revisi UU Penyiaran yang tengah dilakukan DPR saat ini dinilai Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) berjalan dengan tertutup. KNRP menganggap revisi UU Penyiaran terkesan dengan sengaja tidak melibatkan publik dan isinya terkesan sarat dengan kepentingan bisnis. KNRP adalah sebuah koalisi yang melibatkan puluhan ilmuwan berbagai perguruan tinggi dan aktivis masyarakat sipil yang selama ini dikenal peduli dengan demokratisasi penyiaran.
Ade Armando, salah satu akademisi asal Universitas Indonesia yang tergabung dalam KNRP mengatakan, “Revisi berjalan dengan sangat cepat dan tanpa melibatkan elemen publik dalam prosesnya. Draf RUU Penyiaran yang seharusnya terbuka untuk publik, terkesan sengaja disembunyikan DPR”.
Rencana revisi UU Penyiaran 2002 dikabarkan akan dituntaskan DPR dalam tahun ini. Selama 14 tahun terakhir, UU ini dianggap tidak pernah diterapkan secara efektif. KNRP berharap penulisan ulang UU ini akan menjadikan UU Penyiaran lebih melindungi kepentingan publik. Sayangnya, sebagaimana dikatakan Muhamad Heychael (direktur Remotivi) yang juga tergabung dalam KNRP, revisi yang kini tengah dilakukan DPR justru berkebalikan dengan semangat kepentingan publik.
KNRP menunjukkan ada banyak sekali muatan draf RUU Penyiaran (Rancangan UU Penyiaran tertanggal 2 Februari 2016) yang mencerminkan semangat pro-pemodal dan bertentangan dengan kepentingan publik, antara lain draf revisi UU ini menghilangkan sama sekali pasal pelarangan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran yang semua tercantum dalam UU Penyiaran 2002.
Kemudian, draf revisi UU ini menghilangkan kewajiban penyelenggaraan sistem siaran jaringan yang sebenarnya merupakan persyaratan kunci bagi demokratisasi penyiaran di Indonesia. Dalam UU Penyiaran 2002, sistem siaran jaringan merupakan kewajiban; sementara dalam draf revisi UU hal tersebut bersifat opsional. Draf revisi UU ini dengan jelas mengerdilkan peran KPI menjadi sekadar lembaga pengawas isi siaran dan menjadikan pemerintah sebagai lembaga regulator utama dalam dunia penyiaran.
KNRP juga menilai draf revisi UU ini menetapkan penataan penyiaran digital yang semata-mata melayani kepentingan pemodal besar yang saat ini sudah menguasai industri pertelevisian Indonesia. Draf revisi UU ini sama sekali mengabaikan potensi pemanfaatan frekuensi siaran untuk kepentingan pengembangan lembaga penyiaran lokal ataupun potensi pengembangan internet broadband yang akan membawa manfaat besar bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Draf revisi UU ini juga memuat kewajiban sensor bagi seluruh isi siaran, termasuk berita dan laporan jurnalistik, yang disiarkan lembaga penyiaran.
Ditambakan KNRP, draf revisi UU ini menetapkan bahwa jumlah iklan yang bisa ditayangkan dalam sebuah program mencapai 40% dari jam siar program. Ini merupakan peningkatan luar biasa signifikan karena dalam UU Penyiran 2002, batas maksimal iklan adalah 20% dari jam siar program. Kemudian draf revisi UU ini mengizinkan disiarkannnya iklan rokok. Hal ini bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan remaja. Selain itu juga bertentangan dengan ketentuan lainnya dalam Draf yang menyatakan larangan bagi lembaga penyiaran untuk menyiarkan iklan yang mempromosikan zat adiktif.
KNRP menilai masyarakat sipil patut curiga dengan apa yang terjadi di DPR. Karena itu, KNRP menganggap satu-satunya cara untuk menghilangkan kecurigaan tersebut adalah DPR melakukan proses revisi UU Penyiaran dengan transparan dan mengundang partisipasi publik dalam prosesnya.
KNRP juga mengundang segenap akademisi, aktivis, profesional media, dan siapa saja yang peduli pada UU penyiaran yang berperspektif publik bergabung bersama dalam koalisi ini untuk mengawal revisi UU penyiaran agar mengakomodir kepentingan publik.