Oleh: Heru Sutadi
Bisnis telekomunikasi di Indonesia, di satu sisi menampakan kemajuan penggunaan teknologi dan pertumbuhan pengguna yang sangat signifikan, namun di sisi lain kompetisi menjadi demikian ketat. Jumlah pemain yang cukup banyak—baik itu untuk untuk lisensi fixed wireless access (FWA), seluler termasuk broadband wireless access (BWA), membuat tidak semua penyelenggara telekomunikasi mendapatkan pendapatan serta keuntungan seperti yang diharapkan.
Seperti yang terjadi dengan PT Bakrie Telecom (BTEL) Tbk. Selain pengguna yang berkurang hingga 2 juta pengguna dibanding pada 2011, dalam laporan keuangan terakhir untuk 2012, BTEL menderita kerugian hingga mencapai Rp. 3,13 triliun. Kerugian ini jauh meningkat dibanding 2011 yang ‘hanya’ mencapai Rp. 782 miliar. Tidak jauh berbeda dengan BTEL, operator lain PT SmartFren—yang memiliki lisensi FWA dan Seluler, mengalami kondisi yang hampir sama. Sepanjang 2012, Smartfren merugi hingga Rp. 1,56 triliun. Meskipun, angka ini menurun dibanding kerugian taun sebelumnya yang mencapai Rp. 2,39 triliun.
Jumlah penyelenggara telekomunikasi yang saat ini mencapai 10 operator mengakibatkan persaingan amat sangat ketat. Sementara, unsur utama untuk memenangkan persaingan atau hanya sekadar mempertahankan “hidup”, yaitu tarif dan kualitas, sudah sulit dilakukan. Tarif yang sudah sangat rendah sulit untuk dibuat rendah lagi. Sementara, frekuensi sebagai salah satu komponen jaringan yang menjadi faktor penting dalam penyelenggaraan telekomunikasi khususnya bergerak seluler sudah semakin terbatas atau bahkan sudah dialokasikan.
Dari kondisi tersebut, walaupun akan berbeda untuk masing-masing operator, ini merupakan saat yang tepat untuk duduk bersama menyusun strategi bagaimana menyelamatkan industri telekomunikasi ini ke depan. Apalagi, pemerintah sendiri melalui Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informasi M. Budi Setiawan, telah menyadari hal ini dan mewacanakan agar para operator telekomunikasi berkonsolidasi.
Konsolidasi dapat dilakukan dengan dua metode utama, yaitu antaroperator melakukan penggabungan atau akuisisi, serta dengan menggunakan semua jaringan termasuk sumber daya frekuensinya secara bersama agar lebih optimal. Metode penggabungan atau akuisisi mungkin lebih sulit dilakukan mengingat masing-masing operator tetap ingin berusaha sendiri-sendiri serta khawatir akan dikaitkan dengan kepemilikan silang—meski UU telekomunikasi tidak melarang hal ini, namun kasus kepemilikan Temasek di Indosat dan Telkomsel jadi preseden seolah-seolah ada larangan, padahal yang dilarang adalah jika ada kartel, upaya praktik monopoli atau hambatan untuk persaingan usaha secara sehat.
Sehingga, pemanfaatan jaringan mau tidak mau harus dilakukan. Semisal di frekuensi 800 MHz, dengan masing-masing mendapat 5 MHz sesungguhnya tidak memenuhi kebutuhan untuk bersaing dalam memberikan layanan data. Apalagi, teknologi-teknologi terbaru selalu bersifat bandwidth hunger, butuh frekuensi lebih besar.
Sebab, secara teoritis, ada hubungan antara frekuensi dengan kapasitas BTS menangani pengguna dalam waktu bersamaan serta kecepatan (bit rate) terutama untuk data. Dan itu tidak hanya di 800 MHz atau untuk operator yang menghuni frekuensi tersebut saja, sebab dalam kenyataannya, alokasi frekuensi yang ada sekarang ini tidak imbang, kebutuhan jauh lebih besar dari alokasi frekuensi yang ada saat ini, termasuk bagi Telkomsel maupun XL Axiata yang baru saja mendapatkan blok k-3 3G, yang tambah lagi belum bisa dipakai karena penataan yang molor.
Dengan menggunakan jaringan bersama, maka jaringan akan lebih optimal. Frekuensi yang digabungkan antara satu operator dengan lainnya juga lebih optimal. Hanya saja, dalam implementasi harus tetap jelas kewajiban membayar BHP pita, dimana operator yang dialokasikan frekuensi lah yang membayar, sehingga meski frekuensi dipakai bersama, BHP frekuensi dibayar masing-masing operator sesuai alokasi. Kemudian juga soal lisensi, penyelenggara jaringan seluler nasional bisa menggabungkan frekuensi dengan operator seluler lain yang bersifat nasional, sementara misalnya FWA bisa dengan pemegang lisensi FWA lain.
Dan menariknya, implementasi ini tidak memerlukan perubahan hingga UU, namun cukup dengan persetujuan Menteri saja, yang tentunya dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Kominfo mengenai pengaturan penggunaan frekuensi secara bersama sebagai turunan dari PP No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Dan jika Menteri Kominfo concern untuk memenuhi beberapa target seperti MP3EI, WSIS termasuk ASEAN ICT Masterplan, serta mewujudkan broadband for all dan ikut membangun broadband economy, tidak ada alasan yang kuat untuk menolaknya. @herusutadi
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 10-2013 di sini