MAJALAH ICT – Jakarta. Orang Indonesia yang kreatif ternyata memang tidak sedikit. Inilah yang membuat startup lokal dengan aneka variasi aplikasi dan inovasi hadir. Namun sayang, tidak semua berhasil, bahkan harus ‘kehabisan darah’ sebelumnya waktunya. Hal ini disebabkan karena sulitnya usaha rintisan harus bersaing dengan aplikasi dan konten besar, apalagi yang sudah mendunia, tanpa mendapat perlindungan dan insentif dari pemerintah.
Demikian dikatakan Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Menurutnya, kondisi ini sama dengan saat kondisi bioskop-bioskop tradisional digempur pengusaha bioskop berjaringan di awal 90-an. Yang hasilnya kini, hampir semua bioskop tradisional, kini tinggal nama karena sulit bersaing.
"Tidak mungkin startup harus bersaing dengan aplikasi maupun platform besar. Apalagi, melawan platform yang sukses di dunia. Di sinilah perlunya proteksi dari pemerintah dan industri dalam melindungi startup lokal, dan juga memberikan insentif. Tanpa hal itu, kematian ide dan inovasi startup lokal hanya soal waktu," katanya.
Ditambahkan Pengamat Telematika ini, ide dan inovasi yang dihasilkan oleh Indonesia tidak kalah dari yang sudah dibuat dan sukses, seperti Facebook, YouTube, Path dan sebagainya. "Selain perlunya proteksi, perlu dikobarkan juga semangat dan kebanggaan bagi masyarakat untuk menggunakan aplikasi lokal. Kenapa misalnya kita ribut-ribut soal Vimeo untuk dibuka blokirnya, padahal anak bangsa sendiri telah bisa membuat platform berbagi video seperti itu, bahkan lebih lengkap lagi," ujarnya.
Bahkan Heru melihat, ke depan peran aplikasi, konten, maupun platform makin signifikan terhadap ekonomi bangsa. "Bayangkan berapa nilai Facebook sekarang, Twitter, Google? Sangat besar, bahkan buakn tidak mungkin di atas nilai APBN kita. Sementara kita susah-susah harus menggenjot pajak, menjual minyak, ada peluang mendapatkan pendapatan lebih besar dari pembuatan aplikasi, konten maupun platform yang disia-siakan," pungkasnya.