MAJALAH ICT – Jakarta. Persoalan tunggakan pajak raksasa internet Google di Indonesia nampaknya menemui jalan buntu. Pasalnya, nilai pajak yang dibayarkan Google masih terlalu kecil. Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan, pendapatan Google sesungguhnya besar dari Indonesia, namun semua dibubukan dalam laporan keuangan markas Google di Singapura.
Demikian diungkapkan oleh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv. Menurut Haniv, dengan kondisi tersebut, nampaknya terjadi jalan buntu dalam penyelesaian masalah pajak terutang Google. “Kami belum mencapai settlement. Proses investigasi masih berlanjut. Kini kami ingin Google membuka pembukuan, kemudian kantor pajak akan menghitung pajak terutang,” tandas Haniv.
Ditambahkannya, Google sendiri telah meminta waktu tambahan untuk mempersiapkan pembayaran. Dalam aturan pajak Indoensia, jika Google menerima temuan kantor pajak, kasus ini tak akan dibawa ke pengadilan. Dalam kondisi ini, Google harus membayar pajak terutang ditambah dengan denda tunggakan, sebesar 150 persen dari jumlah pajak terutang. Namun, jika Google menolak temuan tersebut, Ditjen Pajak bakal membawa ke pengadilan dan Google akan bisa didenda hingga empat kali jumlah utang pajak jika dinyatakan kalah dalam kasus ini.
Beberapa waktu lalu, Haniv sudah mengungkapkan, Ditjen Pajak kesulitan memungut pajak terutama PPH karena Google hanya menyetorkan penghasilan kepada kantor pusat. Haniv mengatakan, investigasi terhadap Google akan dilakukan setelah program amnesti pajak berakhir. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga iklim perpajakan tetap kondusif bagi wajib pajak yang ingin mengikuti pengampunan pajak.
Diungkapkannya juga, awalnya Google mau bernegosiasi. Namun, diduga, Google mendapatkan masukan dari sejumlah pihak dan mengambil langkah menolak diperiksa. Padahal proses tersebut sebenarnya berlangsung sejak beberapa bulan yang lalu. Para petinggi regional Google dari Singapura juga sudah melakukan komunikasi dengan petugas pajak.
”Awalnya, mereka mau menegosiasikan. Tapi, kemudian entah ada masukan dari mana, surat itu dikembalikan,” ujarnya. Bukan cuma menolak, Google tidak mau ditetapkan sebagai badan usaha tetap (BUT) dengan konsekuensi membayar pajak kepada negara.
Mengetahui hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani sangat serius menanggapi penolakan Google ini. Tidak main-main, menteri yang pernah jadi petinggi di Bank Dunia ini mengancam akan membawa Google ke pengadilan pajak bila perusahaa internet raksasa ini mangkir membayar pajak di Indonesia.
Menurut Sri, bila Google tak kunjung bertindak kooperatif maka pemerintah akan menggunakan aturan hukum yang berlaku. Bahkan, Google akan diseret ke peradilan pajak. “Ditjen pajak akan menggunakan pasal yang ada, kita punya wadah untuk mendiskusikan hal itu. Kalau sepakat atau tidak sepakat, ada peradilan pajak,” kata Sri.
Selain itu, Sri Mulyani juga punya strategi lain. Yaitu, membawa kasus pajak Google ke pertemuan internasional, yang bahkan akan dibentuk forum khusus untuk menyatukan persepsi mengenai pajak perusahaan over the top (OTT). “Saya lihat di negara-negara lain kompleksitas pemungutan pajak dari aktivitas ekonomi seperti ini, akan kita sikapi. Dan kalau kita merasa perlu ada forum internasional untuk menteri keuangan-menteri keuangan bisa sepakat sehingga tidak memiliki interpretasi sendiri, akan kita bawa,” yakinnya.
Saat ini, yang dilakukan dirinya adalah memerintahkan kepada jajaran Kementerian Keuangan untuk mempersiapkan segala dokumen. “Saya minta DJP untuk memberikan kajian, proposal proses pemungutan pajak untuk aktivitas seperti itu,” pungkasnya.
Utang Pajak Rp. 5,2 Triliun Lebih
Wajar saja jika Direktorat Jenderal Pajak dan Menteri Keuangan RI akan terus mengejar kewajiban pajak perusahaan internet raksasa Google. Pasalnya, diperkirakan utang kewajiban pajak Google mencapai Rp.5,2 triliun atau senilai 400 juta dolar AS.
Muhammad Haniv menyatakan telah mendatangi kantor lokal Google di Indonesia. Selama lima tahun pajak, Google menghadapi tagihan pajak sebesar 400 juta dolar atau mencapai Rp.5,2 triliun. Kantor pajak menuding, Google hanya membayar 0,1 persen saja dari kewajibannya selama ini.
Selain pajak tertunggak, jika terbukti bersalah, Google mungkin harus membayar denda hingga empat kali lipat kewajiban terutang. Haniv sendiri menolak untuk memberikan perkiraan untuk periode lima tahun.
Sebagian besar dari pendapatan yang dihasilkan dari Indonesia memang dilarikan ke kantor pusat Asia Pasifik Google di Singapura. Google Asia Pacific menolak untuk diaudit pada bulan Juni, mendorong kantor pajak untuk meningkatkan kasus ini menjadi salah satu tindakan pidana, kata Haniv. “Argumen Google adalah bahwa mereka hanya melakukan perencanaan pajak,” kata Haniv. “Perencanaan pajak adalah perencanaan hukum pajak, tapi agresif. Sejauh ini negara tidak mendapatkan pendapatan apapun yang dibuat.”
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) bersuara soal Google yang mangkir untuk menunaikan kewajiban pajaknya di Indonesia. Hipmi mendesak pemerintah untuk tegas terhadap Google agar mematuhi aturan perpajakan Indonesia.
Ketua Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif BPP, Hipmi Yaser Palito menyampaikan, sebagai lembaga yang pernah mengajak Google beroperasi di Indonesia, Hipmi menyayangkan sikap Google. tersebut yang menolak untuk diperiksa pajaknya. “Sebagai lembaga yang pernah meminta Google masuk ke Indonesia, kita sesali dia tidak taat pajak,” tandas Yaser.
Menurutnya, adalah tidak baik jika setelah meraup nangguk untung yang besar dari pasar Indonesia yang sangat besar, Google malah menghindari pajak. “Kita harap Google segera menyelesaikan kewajibannya,” ujar Yaser.
Selain itu, atas nama Hipmi Yaser juga mendesak agar pemerintah untuk bersikap tegas dalam mengejar pajak Google. “Silakan berusaha dan ambil untung di Indonesia tapi kewajibannya juga dijalankan. Jangan mau enaknnya saja,” lanjutnya.
Menghindarkan Google dari kewajiban membayar pajak di Indonesia dipercaya akan berakibat membuat media nasional mati. Demikian dikatakan Pengamat Komunikasi Massa, Agus Sudibyo. Menurut Agus, iklim usaha di bidang media dan informasi akan timpang dan tidak adil, jika Google dan perusahaan OTT (Over the Top) lainnya tidak membayar pajak. Selain itu, perusahaan media nasional, cetak, TV, radio maupun online yang selama ini membayar pajak akan sulit untuk bersaing dengan mereka. Karena itu, dirinya mendukung langkah pemerintah untuk memaksa Google Indonesia membayar pajak. “Sebenarnya entitasnya sama, korporasi media,” tandas Agus.
Dijelaskannya, pertumbuhan pendapatan Google, Facebook, Yahoo, dan seterusnya sangat signifikan dan terus mereduksi pendapatan media nasional. Dan karena tidak dibebani pajak, Google cs bisa mengambil margin keuntungan lebih besar dan menerapkan tarif iklan lebih rendah. “Dalam konteks ini, penerapan pajak untuk Google dan perusahaan OTT yang lain adalah instrumen penting untuk melindungi kepentingan media nasional,” yakinnya.