MAJALAH ICT – Jakarta. Perhitungan biaya interkoneksi oleh pemerintah ditanggapi pro dan kontra. Yang kontra mengatakan bahwa biaya interkoneksi pada angka Rp.204 untuk telepon seluler diangap terlalu murah, dan harusnya naik. Namun di sisi lainnya, operator yang bukan dominan menilai bahwa penurunan ini terlalu kecil. Pasalnya, dalam hitungan mereka ongkos produksi telepon seluler biaya interkoneksinya hanya Rp.65 saja.
Disampaikan President Director & CEO XL Axiata Dian Siswarini, biaya interkoneksi yang tinggi di Indonesia menyebabkan trafik komunikasi antar operator menjadi rendah. "Sekarang untuk panggilan lokal seluler Rp.250 dan jarak jauh Rp.452. Angka yang dikeluarkan regulator untuk 1 September adalah Rp.204 untuk lokal dan Rp 304 untuk jarak jauh. Ini sebenarnya masih jauh di bawah harapan XL, tetapi kami tak masalah ditetapkan pada 1 September mendatang untuk kepastian menjalankan roda bisnis," tandasnya.
Diungkapkan Dian, biaya interkoneksi dalam hitungan XL sendiri hanyalah Rp.65. "Itu kami pakai konsultan terkenal. Tetapi kita sadar penetapan biaya interkoneksi tak bisa lihat sisi teknis saja, ekonomis juga harus dilihat. Terlalu tinggi merugikan, terlalu rendah tak menarik bagi investasi," ujarnya.
Dian menambahkan, XL siap menurunkan tarif ritel jika biaya interkoneksi baru ditetapkan pada 1 September mendatang. "Sebenarnya kita sudah turunkan tarif ritel untuk salah satu produk. Tadinya Rp.300-an per menit sekarang menjadi Rp.31 menit. Kalau dilihat itu dibawah recovery cost karena kita hitung tadi Rp.65. Kita jualnya Rp.100-an per menit," imbuhnya.
Namun diingatkannya, biaya interkoneksi sebenarnya dalam implementasi melalui kesepakatan business to business (B2B) antara operator, sedangkan porsi pemerintah menetapkan ceiling. "Jadi itu nanti tak seragam juga, tergantung negosiasi di lapangan," lanjutnya.
Hanya saja, saat ini pihaknya mengharapkan ada kepastian terkait penetapan biaya interkoneksi pasca pemerintah mengumumkan penurunan interkoneksi. "Kami sangat berharap Surat Edaran yang dikeluarkan 2 Agustus itu ditetapkan menjadi Peraturan Menteri (PM) dan mulai berlaku sesuai jadwalnya yakni 1 September 2016," pungkasnya.