MAJALAH ICT – Jakarta. Pembelaan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dalam kasus pencurian pulsa konsumen dan kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi yang dialamatkan ke IM2 dan Indosat, nampaknya berbeda. Jik adalam kasus IM2 dan Indosat, sejak awal dibela dan dinyatakan bahwa tidak ada pelanggaraan UU Telekomunikasi terkait penggunaan frekuensi, sementara dalam kasus sedot pulsa Tifatul dengan tegas mengatakan bahwa harus ada yang pertanggungjawab terhadap kasus ini.
Hal itu dikatakan Tifatul ketika kasus ini merebak setahun silam, di depan Komisi I DPR RI. Menurut Tifatul, pengusutan kasus ini mesti berujung kepada sosok yang bersalah dan harus dipenjara. "Selama ini kita sudah bekerja sama dengan kepolisian untuk mengusutnya. Targetnya harus ada yang dipenjarakan, yang bersalah harus dihukum. Jangan sampai lolos begitu saja," tandas Tifatul saat itu.
Menurut Tifatul, kasus pencurian pulsa menjadi isu yang sensitif karena menyangkut banyak orang yang jadi korban. Sehingga ketika kasus ini ramai, Kementerian Kominfo bertindak tegas dengan meminta operator dan content provider untuk melakukan unreg massal.
Fatwa Tifatul yang menghendaki ada yang bertangung jawab terhadap kasus ini, nampaknya juga jadi pegangan kepolisian untuk menuntaskan kasus ini. Dimana dalam perkembangan terakhir, tersangka pencurian pulsa yaitu Direktur Utama PT Colibri Indonesia berinisial NHB akhirnya dinyatakan lengkap (P21) oleh penyidik Badan Reserse Kriminal Polri.
Demikian diungkap oleh Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman, di Mabes Polri, Jakarta. "Satu berkas untuk tersangka dari PT Colibri dinyatakan P21. Akan menyusul yang lain. Kita harap ini lancar karena yang dirugikan masyarakat kecil," ungkap Sutarman.
Apa yang diungkap Sutarman, artinya, tersangka lain yang telah ditetapkan pihak kepolisian yang antara lain adalah Vice President Digital Music dan Content Management Telkomsel berinisial KP dan Direktur Utama PT Mediaplay berinisial WMH sebagai tersangka sejak Maret 2012, juga akan diselesaikan.
Dijelaskan Sutarman, lamanya penanganan kasus ini dikarenakan selama ini ada perbedaan persepsi dengan pihak kejaksaan tentang kasus tersebut. Alhasil, berkas pun harus bolak balik ke Kejaksaan Agung lebih dari 5 kali.
Yang menarik, diungkap Sutarman, kasus ini bermula dari empat pelapor yang merasa dirugikan, kerugian tidak tidak lebih dari Rp 2 juta. "Kalau dilihat dari empat pelapor itu kerugian tak sampai Rp 2 juta. Tapi dalam data log file satu produk saja, kerugian masyarakat yang tak lapor itu bisa lebih dari Rp 19 miliar. Itu baru satu produk, padahal konten ini bisa bikin banyak produk," ungkap Sutarman lagi.