Pemerintah dan regulator disalahkan terhadap turunnya kinerja keuangan operator telekomunikasi yang tercermin dari laporan keuangan perusahaan pada kuartal I /2013.
Sutrisman dari Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menilai tarif interkoneksi masih terlalu tinggi, sementara biaya regulasi juga sangat tinggi dengan jenis yang beragam. "Ini memberatkan operator, terutama operator di luar tiga besar," katanya.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang TI Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Teguh Anantawikrama mengungkapkan regulatory charges berupa pungutan di daerah, biaya frekuensi, dan biaya lainnya sudah terlalu tinggi.
“Seyogyanya selalu diberikan insentif bagi operator telekomunikasi untuk membangun, dan bukannya disinsentif,” ujarnya.
Menurut dia, regulator juga seharusnya menciptakan iklim dimana operator tidak saling membunuh soal tariff, dan untuk itu harus ada kajian daya dukung ekonomi Indonesia terhadapa jumlah operator telekomunikasi, karena sangat menentukan apakah ekosistemnya akan sehat atau tidak.
Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Gatot S. Dewa Broto membantah kalau turunnya kinerja operator karena regulasi.
“Nggak benar penyebabnya regulasi, karena aturannya sudah baik. Bahkan sekarang BRTI dan Kemenkominfo secara intensif mengawasi kualitas layanan operator,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengungkapkan penyebab turunnya kinerja operator karena tak siap dalam strategi penarifan seiring meningkatnya layanan data dari penyedia konten luar negeri dan menurunnya suara, bukannya regulasi.
“Kenapa harus menduga-duga atau merajuk bahwa regulasi tidak mendukung, dijajah diam saja, maka tunggulah kebaikan hati penjajah seperti menunggu langit runtuh,” tuturnya.