MAJALAH ICT – Jakarta. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menuding PT Smartfren melanggar UU Konsumen dan UU Telekomunikasi menyusul putusnya jaringan serat optik Smartfren yang menyebabkan gangguan layanan data internet berhari-hari. YLKI mengaku menerika sebanyak 143 pengaduan dari konsumen mengenai kasus Smartfren ini.
Demikian disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo. "ada dugaan Smartfren hanya mampu melayani pengguna dengan kapasitas 10 persen dari kapasitas normal. YLKI telah mengirimkan surat kepada smartfren pada 28 Maret 2013," terangnya. Ditambahkan, pengaduan yang diterima YLKI itu melalui bermacam media, seperti surat pembaca, email maupun jejaring sosial.
Berkenaan dengan hal tersebut, YLKI menduga bahwa ada pelanggaran terhadap UU Telekomunikasi dan UU Konsumen yang dilanggar Smartfren. "Smartfren diduga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Smartfren diduga melanggar Pasal 8 ayat 1 huruf a dan f, Pasal 9 ayat 1 huruf e dan k, serta Pasal 62 (pidana) UU Nomor 8 Tahun 1999. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 8 dan 9 UU Nomor 8 Tahun 1999, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar," jelasnya.
Menurut Sudaryatmo, ada beberapa temuan yang didapat dari kasus ini. Di antaranya, Smartfren baru melakukan konferensi pers pada 27 Maret 2013, padahal gangguan sudah terjadi empat hari sebelumnya. Ini menurutnya, menunjukkan tidak adanya sikap responsif ketidakpedulian terhadap konsumen.
Kemudian, saat gangguan terjadi, bukan langsung meminta maaf, tapi Smartfren tetap memasang iklan "antilelet Smartfren". Kemudian YLKI juga menyoroti syarat konsumen mendapatkan kompensasi, yaitu dengan mengisi ulang lebih dulu. "Kerugian konsumen selama tiga hari masa gangguan diperkirakan mencapai Rp 10,1 miliar," katanya.
YLKI juga menyoroti peran Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Menurutnya, harusnya BRTI memberi sanksi kepada Smartfren.
Senada dengan YLKI, Sekretaris Jenderal Indonesian Telecommunications Users Group (IDTUG) Muhammad Jumadi juga menyesalkan sikap pemerintah yang diam saja menyikapi jaringan SmartFren yang tumbang sejak minggu lalu. Padahal, keluhan mengenai jaringan SmartFren ramai menyita perhatian.
"Harusnya pemerintah dan regulator segera memanggil mereka, memberikan sanksi atau apa, sebab sudah berhari-hari," kata Jumadi. Ditambahkan Jumadi, saat kejadian, masyarakat juga tidak mendapatkan informasi yang memadai dari pihak operator. Harusnya, pihak SmartFren menjelaskan kepada masyarakat, apa yang terjadi, berapa hari akan di atasi dan apa kompensasi bagi pengguna. "Jangan gencar saja marketing, jualan tapi after sales service tidak dijaga," tandas Jumadi.
Jumadi juga menyesalkan kenapa informasi mengenai SmartFren disampaikan langsung oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, melalui akun Twitter nya. "Penjelasan itu sebaiknya disampaikan Juru Bicara SmartFren., Pak Menteri kan mewakili pemerintah bukan operator. Kalau soal sanksi, baru Pak Menteri atau bRTI yang bicara," tegas Jumadi. Diingatkan oleh Jumadi yang aktif dalam tim penyusunan aturan Kualitas Layanan ini, jika ada masalah jaringan, operator dituntut cepat menyelesaikan, bahkan dalam waktu 24 jam.
"Ini sudah lebih 24 jam, sehingga QoS mereka sudah tidak terpenuhi. Pemerintah dan BRTI harus adil, dulu saat Telkomsel tumbang lebih dari 24 jam dipanggil dan diberikan sanksi, sekarang kok berbeda. Ada apa ini?" tanya Jumadi yang aktif di International Telecommunications Users group (INTUG) ini.