Search
Jumat 25 Oktober 2024
  • :
  • :

Aturan Blokir IMEI Rugikan Konsumen

MAJALAH ICT – Jakarta. Menteri Perdagangan Gita Wiyawan baru saja memimpin rapat dengan Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Syukri Batubara, Direktur Utama Telkomsel Alex Sinaga, Direktur Utama Indosat Alexander Rusli, Direktur Utama XL Axiata Hasnul Suhaimi dan sejumlah pejabat Kementerian Kominfo, Kementerian Perdagangan, BRTI dan penyelenggara telekomunikasi.

Pertemuan tersebut pada intinya untuk sharing informasi dan mencari solusi konkret yang efektif dan efisien dalam upaya mengatasi masih maraknya perkembangan peredaran perangkat telekomunikasi yang ilegal. Pembahasan yang berlangsung sangat konstruktif, karena baik Kementerian Kominfo, Kementerian Perdagangan, penyelenggara telekomunikasi dan BRTI saling memahami bahwa masalah peredaran perangkat ilegal tersebut harus segera diatasi tidak hanya di hulu tetapi juga di hilirnya.

Salah satu hal yang mengemuka dalam pembahasan itu adalah masalah keberadaan IMEI. IMEI ( International Mobile Equipment Identity ) seharusnya ada pada setiap perangkat telekomunikasi seluler yang digunakan setiap pengguna layanan tersebut dimana IMEI satu sama lain bisa saling berbeda. IMEI ini ada di kotak kemasan saat pertama kali membeli perangkat baru, atau bisa juga mengetahuinya dengan mengetik tanda bintang tanda pagar angka nol angka enam tanda pagar di masing-masing perangkat. Tujuan IMEI adalah untuk memudahkan pengidentifikasian perangkat telekomunikasi. Sehingga jika suatu perangkat telekomunikasi hilang, yang bersangkutan bisa meminta pihak penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pemblokiran.

Salah satu cara yang diusulkan Menteri Perdagangan adalah dengan melakukan pemblokiran IMEI terhadap IMEI yang unligitimated (yang ilegal, yang merupakan hasil kloning dan atau juga yang kosong), mengingat menurut laporan dari salah satu Direktur Utama penyelenggara telekomunikasi yang hadir dalam rapat tersebut terdapat sekitar 10% hingga 15% (sekitar 50 juta) dari perangkat telekomunikasi yang beredar di Indonesia telah teridentifikasi IMEI yang unlegitimated. Sebagai informasi, jumlah total perangkat telekomunikasi yang beredar baik di tangan pengguna maupun masih di pergudangan dan atau pertokoan adalah sekitar 500 juta. Sedangkan jumlah perangkat telekomunikasi yang nomernya aktif digunakan adalah sekitar 250 juta. Usulan tersebut di antaranya didasari atas adanya Peraturan Menteri Perdagangan No. 82/M.DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam dan Komputer Tablet. Menurut Menteri Perdagangan, usulan tersebut karena didasari oleh dampak negatif yang diakibatkan jika peredaran perangkat ilegal masih tetap marak, maka tentu saja berdampak negatif bagi perekonomian. Di samping itu ada upaya jangka pendek dan jangka panjang. Terhadap berbagai usulan tersebut, Dirjen PPI dan ketiga Direktur Utama penyelenggara telekomunikasi tersebut pada dasarnya setuju dengan catatan ada durasi waktu yang cukup panjang untuk sosialisasi agar tidak menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat umum.

Sebagai elaborasi, meskipun Dirjen PPI sudah menjelaskan dan menyampaikan persetujuan terhadap rencana Menteri Perdagangan tersebut, menurut Kepala Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, pihaknya perlu lebih lanjut menjelaskan.

"Kepada masyarakat yang menggunakan layanan seluler tidak perlu panik karena proses menuju rencana pemblokiran IMEI tersebut masih cukup lama dan bisa sekitar 1 tahun berlangsung masa transisi dan sosialisasinya. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi yang intensif. Kepada masyarakat yang merasa menggunakan perangkat yang ilegal dan atau IMEI-nya termasuk yang unligitimated, tetap masih bisa menggunakan hingga 1 tahun ke depan. Meskipun sepakat untuk mengatasi peredaran perdagangan ilegal perangkat telekomunikasi, Kementerian Kominfo sangatconcern dan sangat berhati-hati dengan masalah ini dan itulah perlu dijelaskan lebih lanjut supaya tidak ada pemahaman yang keliru mengingat kini perangkat telekomunikasi tersebut baik yang legal maupun ilegal sudah digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat," kata Gatot.

Ditambahkan Gatot, mengingat keberadaan IMEI belum tentu sepenuhnya dipahami oleh sebagian besar pengguna layanan telekomunikasi dan mungkin sejauh ini yang diketahuinya hanya nomer teleponnya saja misalnya, maka sosialisasi intensif harus komprehensif. Sosialisasi ini tidak hanya harus dilakukan oleh kedua kementerian, tetapi juga oleh para penyelenggara telekomunikasi dan vendor telekomunikasi serta berbagai pihak terkait.

"Salah satu cara membedakan asli dan palsunya IMEI di antaranya umumnya terletak pada filmware handled, dus/kotak dan stiker yang tertempel pada tempat baterai perangkat. Perangkat yang palsu pada umumnya tidak akan menampilkan nomor IMEI. Sebaliknya, jika ada IMEI nya, lebih baik dicocokkan dengan dengan dus/kotak untuk mengindari IMEI yang terduplikasi," jelasnya.

Masalah IMEI bukan satu-satunya cara untuk mengatasi maraknya peredaran black market dari perangkat telekomunikasi, karena Kementerian Kominfo di antaranya juga tetap mewajibkan bagi para vendor, importir dan pabrikan yang akan memperdagangkan perangkat telekomunikasinya untuk harus disertifikasi sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 29 Tahun 2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi, yang kini sedang direvisi. Di samping itu, kegiatan penegakan hukum atau razia di sejumlah setra perdagangan tetap terus digalakkan sebagaimana yang selama ini telah dilakukan.

"Kementerian Kominfo sepakat dengan Kementerian Perdagangan untuk menyusun rencana jangka pendek dan jangka panjang yang konkret serta lebih koordinatif dengan aparat Ditjen Bea Cukai, Kepolisian dan berbagai instansi terkait dengan tujuan untuk meminimalisasi penyelundupan perangkat telekomunikasi. Koordinasi antara Kementerian Perdagangan terhadap berbagai hal terkait dengan regulasi masalah perangkat telekomunikasi sesungguhnya selama ini sudah berlangsung cukup baik dengan tujuan untuk meminimalisasi adanya regulasi yang saling bertentangan. Khusus mengenai masalah IMEI ini memang untuk tingkat pejabat tinggi baru sekali ini dilakukan dan akan terus dikoordinasikan secara lebih intensif," urai Gatot.

Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala berpendapat, aturan mengenai IMEI akan berpotensi merugikan konsumen. "Ini berpotensi merugikan pengguna. Mengapa? Karena pengguna tidak bisa membedakan mana yang ilegal dan mana yang legal. Kalau pengguna beli ponsel tertentu di mall misalnya, kemudian IMEI nya ilegal, ini siapa yang tanggung jawab?" tegas Kamilov.

Yang perlu dilakukan, kata Mantan Anggota BRTI ini, adalah pengawasan yang ketat di perbatasan dan pintu-pintu masuk agar barang ilegal tidak bisa masuk. "Pernah dalam kasus BlackBerry PIN yang tidak terdaftar di RIM di blok, padahal konsumen tidak tahu mana PIN yang legal dan ilegal. Akhirnya kami (BRTI saat itu–red) berjuang menyelamatkan pengguna. Saatnya Kementerian Perdagangan Kominfo juga bergerak menyelamatkan pengguna, jangan ujung-ujungnya pendapat dari sertifikasi atau otorisasi IMEI saja," sergah Kamilov.